Aku meninggalkan fast food karena telah membunuh jiwaku, dan juga tubuhku.
Fast food biasanya menjadi andalanku. Setiap kali aku menerima berita yang buruk, merasa tidak cukup baik, merasa gemuk, atau hangover, aku langsung membeli fast food. Sungguh mudah.
Ketika aku masih muda, aku memiliki obsesisi akan diriku sendiri dimana aku harus terlibat dalam sebuah romantic yang berbahaya. Aku juga memiliki ritual setiap minggu seperti ini: Brunch dengan teman – temanku, lalu lanjut ke mimosa, nonton film, dan tidur siang.
Dalam perjalanan pulang, merasa sedih, dan lapar, dan lelah, aku akan melewati restoran – restoran fast food yang berjejer seakan – akan menungguku. Awalnya, aku hanya pergi ke Taco Bell dan memiliki beberapa option, dan akan pergi ke Wendy’s atau McDonalds jika aku menginginkan yang manis – manis.
Aku akan pulang dengan semua makanan tersebut dan memakannya lahap, sebagian dimakan di dalam mobil.
Aku mengakhiri mingguku dengan membenci diriku sendiri.
Aku mulai membeli fast food setiap kali aku merasa tidak hebat. Dan karena lemak fast foodku meningkat, momen – momen luar biasaku pun mengurang.
Oh, dan aku juga mulai makan fast food untuk merayakan apapun: “Aku baru saja selesai bekerja! Ada McDonalds! Ayo Rayakan!”
3 menit kemudian: Aku membenci diriku sendiri. Dan minyak apa ini yang terasa di kerongkonganku?”
Ketika aku mencoba membatasinya, aku tidak memperhatikan adanya perubahan drastic dari kesehatanku. Setiap senin aku akan merasa kembung. Aku juga mulai merasa bahwa aku tidak bisa lagi olahraga karena nafasku yang semakin pendek. Aku tidak bisa konsentrasi. Aku kehilangan motivasi untuk melakukan apapun selain minum dan makan fast food. Pakaianku semakin sempit. Dan aku menemukan ruam baru setiap paginya.
Jangankan kesehatanku, aku pun sudah mulai khawatir bahwa aku harus membeli acne cream dan pakaian dengan ukuran yang lebih besar.
Aku pun memutuskan hubunganku dengan fast food dan ternyata hal tersebut buruk karena aku memutuskannya secara dingin. Hal tersebut mulai mempengaruhi mentalitasku, fisik juga jiwaku. Aku merasa terpaksa dan aku tidak lagi menyukai diriku.
Tanpa adanya kehadiran makanan siap saji, aku pun mulai melakukan segalanya untuk menemukan hal yang dapat membuatku merasa lebih baik: Aku mulai melakukan jurnal, yoga, meditasi, membaca Women Who Run With the Wolves. Aku memutuskan hubunganku dengan alcohol, mulai minum air mineral, dan menangis sebanyak – banyaknya. Inilah titik turning point hidupku.
Aku mulai merasa seperti kupu – kupu (yang sangat lapar) yang telah belajar cara terbang kembali.
Sudah 5 tahun sejak aku memutuskan hubunganku dengan racun yang sedap itu. Putusnya hubunganku dengan fast food telah membuatku memiliki harapan dan kesehatan yang prima untuk terus menjalani hidupku.
Facebook Comments