Kamu mungkin berkali-kali mendengarnya di lagu-lagu dan puisi-puisi cinta: bahwa cinta tanpa syarat adalah cinta paling agung. Serta bahwa tak akan sempurnalah kasihmu padanya jika kamu tak mencintai dengan cara ini. Di telinga kamu mungkin terdengar begitu mulia: mencintai tanpa pamrih, tanpa mengharapkan balasan, tanpa menuntut apapun juga. Rasanya bagaikan sebuah nada sesempurna dan seagung konsep perdamaian dunia, menenangkan, melengkapi.
Tapi berhati-hatilah, karena itu hanya sekedar jebakan. Mempercayai konsep bahwa masuk akal mencintai seseorang tanpa mengharapkan apa pun malah akan membuatmu terus-menerus merasa tak cukup.
Cintailah hewan dan anak-anak tanpa syarat. Tapi, orang dewasa? Secara romantis? Pfftt… sebaiknya, jangan.
Inilah bahaya-bahaya paling besar jika kamu memaksakan diri untuk mencintai seseorang 100% tanpa syarat apa-apa.
Cinta tanpa syarat adalah sebuah mitos berbahaya.
Hal ini mempromosikan kepercayaan bahwa ketidakmenerimaan adalah hal yang buruk. Bahwa batasan, masalah, perasaan, bahkan konflik, adalah hal yang harus dijauhi karena kita harus menerima segalanya. Malahan, bukan hanya menerima, cinta jenis ini menuntut kita untuk dengan buta mencintai seserang dan segala sikap-sikapnya.
Padahal ini jelas-jelas tidak masuk akal. Setiap hubungan punya masalah. Hubungan yang sehat menyaratkan adanya upaya penyelesaian masalah dengan cara dewasa dan positif, dengan negosiasi hal-hal yang membuat sebuah hubungan baik untuk kedua belah pihak. Kamu harus saling mendiskusikan kesepakatan-kesepakatan dan syarat-syarat baru untuk disetujui bersama, agar sama-sama merasa aman dalam hubungan, tanpa ada yang termanipulasi.
Cinta tanpa syarat itu bagaikan kartu “Bebas Penjara” di permainan monopoli
Jika kamu mencintai seseorang tanpa syarat, kamu harus tetap tulus dan ikhlas dalam rasa itu apa pun yang dia lakukan, termasuk berbohong, memanfaatkan, memanipulasi, atau melecehkanmu. Rasamu tak boleh berubah karena hal-hal buruk yang dilakukannya. Padahal, hal itu jelas tidak sehat. Tidak semua orang tercipta hanya dari sifat-sifat baik dan tujuan mulia. Bagaimana kalau kekasih atau suamimu ternyata seseorang yang seenaknya sendiri? Kamu percaya cinta tanpa syarat. Dia hanya percaya mendapatkan keuntungan dengan cara apa pun. Ini tidak akan adil. Dia akan selalu menang. Dan kamu? Selalu kalah dan teraniaya.
Konteks sesungguhnya dari istilah ini tak seperti yang kamu sangka.
Erich Fromm adalah seorang psikolog yang memperkenalkan ide ini pada tahun 1934, dalam bukunya yang berjudul The Art of Loving yang terbit tahun 1956. Menurutnya ada beberapa macam cinta, salah satunya adalah cinta ibu terhadap bayinya. Dia tak punya ekspektasi apa-apa terhadapnya. Sang ibu mencintai bayinya hanya karena bayi itu terlahir darinya dan bernapas!
Jadi dalam konteks aslinya, cinta semacam ini bukan diberikan pada seorang kekasih. Mengubahnya dan memberlakukannya pada orang dewasa yang seharusnya bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya adalah ide buruk. Padahal dalam hubungan, timbal-balik adalah kunci. Mencintai seorang parasit tidak akan membuatmu tumbuh. Kamu hanya akan lelah dan sia-sia.
Karena itulah, hubungan yang sehat tidak bisa tanpa syarat. Kecuali kamu memang hobi berkorban atau menyakiti diri sendiri, dan mendapat kebahagiaan dari itu. Tapi siapa yang mau hidup seperti itu?
Facebook Comments